Di ujung tahun lalu (31/12/2014), Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, mengambil langkah dramatis dengan menandatangani Statuta Roma yang menandai bergabungnya Palestina dengan ICC (International Criminal Court/Mahkamah Pidana Internasional).
Penandatanganan dilakukan sehari setelah Dewan Keamanan PBB menolak draft resolusi yang diajukan Yordania atas nama Palestina untuk mengakhiri pendudukan Israel dengan tenggat 2017. Wajar jika muncul pertanyaan apakah keputusan bergabung dengan ICC itu adalah sebuah keputusan emosional atau memang ada sebuah peta jalan yang diikuti oleh Abbas?
Upaya di aras hukum internasional di dalam ICC yang diupayakan Palestina itu bukanlah kali yang pertama. Tahun 2009 Palestina pernah mengusahakannya di Den Haag meminta penyelidikan ICC atas tuduhan kejahatan perang Israel dalam operasi Cast Lead, namun setelah tiga tahun menunggu pada akhirnya gagal karena status Palestina yang belum diakui sebagai negara.
Ketika November 2012, 193 negara anggota Majelis Umum PBB mengakui secara de facto Palestina sebagi sebuah negara dengan peningkatan status dari "entity" menjadi "non-member state", maka Palestina berhak bergabung dengan ICC. Dengan bergabung, Palestina berharap ICC bisa menyelidiki dan mengadili individu Israel atas tuduhan kejahatan perang, kejahatan kepada kemanusiaan dan genosida serta akan menjadi kartu menghadapi mandeg dan sia-sianya perundingan damai dengan Israel selama ini.
Bisakah harapan itu diwujudkan? Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi Palestina untuk mewujudkan harapan itu. Pertama, bergabungnya dengan ICC bisa menjadi pedang bermata dua. Katakanlah ICC melakukan penyelidikan kasus serangan brutal Israel di bulan Juli tahun lalu di Gaza, maka ia bisa menyangkut pasukan Israel tetapi juga Hamas. Tak heran jika dikabarkan Hamas menolak jika Palestina bergabung dengan ICC.
Kedua, ICC bukanlah badan di bawah PBB. Ia sebuah organ hukum yang independen secara politik dan keuangan dari PBB. Jadi atmosfer politik di PBB tak bisa diharapkan terbawa di ICC untuk mendukung Palestina. Selain itu proses peradilan di ICC tidak bisa singkat dari penyelidikan, dakwaan sampai penjatuhan hukuman. Faktor waktu bisa akan lebih menguntungkan Israel dengan dukungan AS dengan penguasaan perang di aras opini publik dunia.
Ketiga, ICC tidak akan mengambil langkah jika suatu negara pihak telah melakukan penyelidikan dan pengadilan sendiri seperti yang selama ini telah dilakukan oleh Israel lepas dari hasilnya yang tidak memuaskan Palestina. Menjadi tantangan tersendiri untuk membuktikan bahwa sistem pengadilan Israel "unable" (tidak mampu) untuk mengadili tindakan tentara Israel.
Keempat, adalah kenyataan politik yang pahit bahwa jika ICC ingin mengadili individu Israel ia mau tak mau harus mendapat dukungan atau setidaknya lampu hijau dari AS bahkan di era paska Bush sekalipun. Ini sangat berat untuk tidak mengatakan muskil. AS sendiri sudah mengutuk langkah penandatanganan Statuta Roma oleh Abbas. Demikian juga barangkali dengan Inggris meski suasana kebatinan parlemen Inggris sudah berubah dengan mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Politik penuh ketidakpastian.
Meski berat, banyak pengamat menilai bahwa langkah Palestina bergabung dengan ICC sebagai "opsi dahsyat" (nuclear option) dalam upaya Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya. Namun di sisi Iain, ia sedikit banyak juga menyuarakan kegetiran, seperti yang disampaikan oleh Presiden Abbas sebelum menandatangani Statuta Roma: "Mereka menyerang kita dan tanah kita setiap hari, kepada siapa kita mengeluh? Dewan Kemanan PBB telah mengecewakan kita, kemana lagi kita harus mengadu?".
Betapapun upaya di aras politik dan hukum yang ditempuh Palestina telah mengirim pesan-pesan penting kepada dunia, yaitu bahwa dunia seharusnya sudah merasa cukup dengan penderitaan Palestina dan kesabaran yang harus ditunjukkannya. Bahwa Palestina tahu jalan penyelesaian masalahnya di luar jalur kekerasan dan pertumpahan darah, meski itu tidak akan mudah. Selamat berjuang Palestina.
merdeka.com Penandatanganan dilakukan sehari setelah Dewan Keamanan PBB menolak draft resolusi yang diajukan Yordania atas nama Palestina untuk mengakhiri pendudukan Israel dengan tenggat 2017. Wajar jika muncul pertanyaan apakah keputusan bergabung dengan ICC itu adalah sebuah keputusan emosional atau memang ada sebuah peta jalan yang diikuti oleh Abbas?
Upaya di aras hukum internasional di dalam ICC yang diupayakan Palestina itu bukanlah kali yang pertama. Tahun 2009 Palestina pernah mengusahakannya di Den Haag meminta penyelidikan ICC atas tuduhan kejahatan perang Israel dalam operasi Cast Lead, namun setelah tiga tahun menunggu pada akhirnya gagal karena status Palestina yang belum diakui sebagai negara.
Ketika November 2012, 193 negara anggota Majelis Umum PBB mengakui secara de facto Palestina sebagi sebuah negara dengan peningkatan status dari "entity" menjadi "non-member state", maka Palestina berhak bergabung dengan ICC. Dengan bergabung, Palestina berharap ICC bisa menyelidiki dan mengadili individu Israel atas tuduhan kejahatan perang, kejahatan kepada kemanusiaan dan genosida serta akan menjadi kartu menghadapi mandeg dan sia-sianya perundingan damai dengan Israel selama ini.
Bisakah harapan itu diwujudkan? Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi Palestina untuk mewujudkan harapan itu. Pertama, bergabungnya dengan ICC bisa menjadi pedang bermata dua. Katakanlah ICC melakukan penyelidikan kasus serangan brutal Israel di bulan Juli tahun lalu di Gaza, maka ia bisa menyangkut pasukan Israel tetapi juga Hamas. Tak heran jika dikabarkan Hamas menolak jika Palestina bergabung dengan ICC.
Kedua, ICC bukanlah badan di bawah PBB. Ia sebuah organ hukum yang independen secara politik dan keuangan dari PBB. Jadi atmosfer politik di PBB tak bisa diharapkan terbawa di ICC untuk mendukung Palestina. Selain itu proses peradilan di ICC tidak bisa singkat dari penyelidikan, dakwaan sampai penjatuhan hukuman. Faktor waktu bisa akan lebih menguntungkan Israel dengan dukungan AS dengan penguasaan perang di aras opini publik dunia.
Ketiga, ICC tidak akan mengambil langkah jika suatu negara pihak telah melakukan penyelidikan dan pengadilan sendiri seperti yang selama ini telah dilakukan oleh Israel lepas dari hasilnya yang tidak memuaskan Palestina. Menjadi tantangan tersendiri untuk membuktikan bahwa sistem pengadilan Israel "unable" (tidak mampu) untuk mengadili tindakan tentara Israel.
Keempat, adalah kenyataan politik yang pahit bahwa jika ICC ingin mengadili individu Israel ia mau tak mau harus mendapat dukungan atau setidaknya lampu hijau dari AS bahkan di era paska Bush sekalipun. Ini sangat berat untuk tidak mengatakan muskil. AS sendiri sudah mengutuk langkah penandatanganan Statuta Roma oleh Abbas. Demikian juga barangkali dengan Inggris meski suasana kebatinan parlemen Inggris sudah berubah dengan mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Politik penuh ketidakpastian.
Meski berat, banyak pengamat menilai bahwa langkah Palestina bergabung dengan ICC sebagai "opsi dahsyat" (nuclear option) dalam upaya Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya. Namun di sisi Iain, ia sedikit banyak juga menyuarakan kegetiran, seperti yang disampaikan oleh Presiden Abbas sebelum menandatangani Statuta Roma: "Mereka menyerang kita dan tanah kita setiap hari, kepada siapa kita mengeluh? Dewan Kemanan PBB telah mengecewakan kita, kemana lagi kita harus mengadu?".
Betapapun upaya di aras politik dan hukum yang ditempuh Palestina telah mengirim pesan-pesan penting kepada dunia, yaitu bahwa dunia seharusnya sudah merasa cukup dengan penderitaan Palestina dan kesabaran yang harus ditunjukkannya. Bahwa Palestina tahu jalan penyelesaian masalahnya di luar jalur kekerasan dan pertumpahan darah, meski itu tidak akan mudah. Selamat berjuang Palestina.
Daftar Gratis Download Theme Premium, SEO Friendly, Free Support, Free Setup

0 comments
Post a Comment