Mengawali sebuah kebersamaan dengan secangkir teh atau pun segelas kopi sudah terlalu mainstream. Anda mesti mencoba dengan cara yang lain, yang baru dan di luar kebiasaan –out of box—begitu kata mereka yang kreatif. Salah satunya adalah dengan coklat (#AwaliDenganCoklat). Terserah dengan cara apa atau jenis coklat apa, sebuah kebersamaan bisa dimulai “hanya” dengan coklat.
Saya ingin berbagi kisah tentang seorang teman yang rajin makan coklat. Katanya, Ia bisa berkonsentrasi lebih kala coklat sudah dilahapnya. Bukannya ia tak suka kopi, ia justru pecinta kopi, namun coklat baginya layaknya kopi yang dapat meningkatkan konsentrasi dan membuatnya tenang.
Cerita ini (justru) terjadi tanpa disengaja apalagi direkayasa. Tersebutlah di sebuah rumah sakit di kota Banda Aceh yang ketika itu teman saya sedang berkunjung untuk konsultasi. Ia sedang mempersiapkan keberangkatannya ke luar negeri untuk tugas belajar yang salah satu syaratnya harus melampirkan surat keterangan dari dokter ahli di rumah sakit pemerintah.
Setelah semua proses administrasi selesai, maka dipanggillah ia ke dalam ruangan konsultasi. Ketika ia sudah berada di dalam, ketidakenakan terjadi, ia justru tidak diajak berkomunikasi. Seakan ia tidak dianggap ada, tidak diacuhkan keberadaannya. Saya dapat membayangkan bagaimana ekspresinya kala dicuekin oleh oknum dokter ahli, yang konon katanya sudah tua berumur sekitar 60an yang asik memainkan perangkat gawainya (gadget).
Dengan mata menjalar kemana-mana hingga ia kembali ke asalnya, kebosanan dan sejenisnya mulai melanda sang teman. Padahal, saat itu teman saya telah menunggu lama di depan sang dokter –sekitar 10 menit-- untuk berkonsultasi. Setelah selesai memerhatikan dan membaca seluruh isi ruangan tanpa adanya jeda atau pun teguran dari si (oknum) dokter, hal ini tentu membuat alam imajinatifnya aktif.
Singkatnya, untuk mengatasi gap atau mencairkan suasana –mungkin juga mengusir penat--lantas ia membuka tasnya dan mengeluarkan setumpuk coklat ke atas meja dan mulai menikmatinya. Sungguh keajaiban pun terjadi. Cokat akhirnya “bicara”. Suasana yang tadi beku, kini telah mencair. Sang dokter yang menyadari “kelalaiannya” dalam melayani pasien karena asik bermain gadget, kini berhenti menyentuh lalu menyimpannya ke dalam laci. Sesi konsultasi pun dimulai hingga selesai.
Itulah awal yang baik dalam menghangatkan suasana. Terkadang, sesederhana dengan memakan coklat, suasana menjadi cair dan Anda tidak (jadi) dicuekin. #AwaliDenganCoklat.
Kiranya, ini menjadi sebuah “tamparan” bagi oknum dokter yang tidak melayani “kliennya” di ruang konsultasi, karena asik dengan gadgetnya. Seharusnya teknologi mempercepat kinerja manusia, bukan malah menghambat dan memperjarak –dalam kasus ini-- sebuah hubungan yang di depan mata. Jangan salahkan gadgetnya, salahkan manusia yang menggunakan gadget itu.
Sumber : viva.co.id
0 comments
Post a Comment